Saturday, 30 May 2015

KESUKSESAN, SIAPA YANG TIDAK TERGIUR?

Apa itu sukses?
Secara umum, sukses adalah taraf sejauhmana seseorang mengalami kemajuan dan peningkatan dalam menjalankan aneka tugas kehidupan meskipun menghadapi aneka tantangan dan hambatan (Paul Stoltz, 1997). Ukuran sukses pada setiap orang berbeda-beda. Yang lebih penting diukur adalah dari dalam diri sendiri berupa kualitas motivasi hidup yang semakin meningkat.
Ketika seorang individu berperilaku, perilaku yang nampak adalah hasil dari berbagai macam faktor yang melatar belakanginya. Faktor-faktor yang melatar belakangi tersebut biasanya sesuai dengan tingkat kebutuhan yang ingin dicapai oleh seorang individu. Menurut Abraham Maslow ada 5 tingkatan kebutuhan manusia, yaitu :
1. Kebutuhan fisiologis : makan,minum, tidur, seks.
2. Kebutuhan Rasa Aman : Punya penghasilan, tempat tinggal sendiri
3. Kebutuhan Mencintai-dicintai : punya lingkaran sahabat, pasangan hidup
4. Kebutuhan Harga-diri : Punya karir, jabatan, kegiatan yang memberi rasa jati diri.
5. Kebutuhan aktualisasi diri : Punya sarana untuk mengembangkan aneka talenta demi mencapai tujuan yang lebih luhur-mulai : peningkatan diri, pelayanan kepada sesama.
Setiap kali individu berperilaku, maka ia akan dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan yang telah terpenuhi. Misalnya : ketika seorang individu, kebutuhan fisiologisnya(makan, minum, tidur, seks) belum terpenuhi maka perilakunya akan mengarah kepada pemenuhan kebutuhan fisiologisnya.

Ketika kebutuhan fisiologisnya telah terpenuhi, individu akan berperilaku untuk memenuhi kebutuhan pada tingkatan berikutnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman (punya penghasilan, tempat tinggal sendiri), jika itu sudah terpenuhi, kebutuhannya akan meningkat pada tingkatan berikutnya yaitu kebutuhan akan harga diri (punya lingkaran sahabat, pasangan hidup), begitu seterusnya……….
Perilaku manusia yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan yang bertingkat akan menghasilkan kualitas motivasi hidup yang berbeda. Kualitas motivasi hidup yang berbeda akan menimbulkan ukuran sukses yang berbeda-beda pada setiap orang. Kualitas motivasi hidup individu inilah yang akan menjadi ukuran kemampuannya dalam mengatasi setiap persoalan hidup untuk tidak berputus asa agar dapat mencapai sukses yang didambakan.
Setiap orang menginginkan kesuksesan. Namun kadangkala dalam mencapai sukses banyak rintangan dan hambatan yang mengakibatkan individu berputus asa sebelum sukses dicapai.
Menurut Stoltz ada tiga tipe manusia dalam mencapai sukses. Pertama Quitters (mereka yang berhenti). Orang jenis ini berhenti di tengah proses pendakian, gampang putus asa, mudah menyerah. Kedua, Campers (pekemah). Tidak mencapai puncak, sudah puas dengan yang telah dicapai. Ucapan mereka,”Segini sajalah, sudah cukup. Ngapain capek-capek.” Orang-orang ini lebih baik dibanding quitters, sekurang-kurangnya bisa melihat dan merasakan tantangan. Banyak orang masuk tipe ini, pendakian yang tidak selesai itu sudah mereka anggap sebagai kesuksesan akhir. Namun sebenarnya tidak demikian, sebab masih banyak potensi mereka yang yang belum teraktualisasi sehingga menjadi sia-sia. Ketiga, Climbers (pendaki). Mereka yang selalu optimistik, melihat peluang-peluang, melihat celah, melihat senoktah harapan dibalik keputusasaan, selalu bergairah untuk maju. Noktah kecil yang oleh orang lain dianggap sepele, bagi para climbers mampu dijadikannya sebagai cahaya pencerah kesuksesan. Ketika seorang pendaki (climbers), sampai pada titik puncak, seperti seorang pendaki gunung yang sampai di puncak, ia dapat melihat dan menikmati keindahan yang tidak dapat dilihat dan dinikmati oleh orang yang berada di bawah. Ketika ilmu psikologi dipergunakannya sebagai titik pijakan, maka Stoltz menempatkan climbers pada piramida puncak hirarki kebutuhan yang disebut dalam teori Maslow sebagai aktualisasi diri.
Menurut Ari Ginanjar Agustian, perjuangan berat yang dilakukan oleh Siti Hajar dengan berlari-lari bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwah merupakan figur dari tipe climbers sejati, yang berarti istri kedua Nabi Ibrahim ini memiliki tingkat AQ (Adversity Quotient / Kecerdasan adversitas adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup) yang sangat tinggi jika diukur saat itu. Lebih lanjut Agustian menjelaskan:
Mengapa Allah memilih dia, Siti Hajar? Yang diikuti umat manusia ketika bersa’i. Ini menjelaskan bahwa ketika kemampuan logika sudah habis (putus asa), atau bisa dikatakan sudah kehabisan akal di tengah padang pasir. Kondisi ini dilambangkan dengan seorang wanita bekas budak, berkulit hitam, di tengah padang pasir yang tandus dan seorang diri. Bagaimana mungkin seorang climbers gaya Stoltz (AQ) masih bisa melihat “noktah” sebagai cahaya pencerah kesuksesan saat itu…? Kala otak atau IQ tidak melihat harapan di tengah padang pasir? Ketika emosi (EQ-Daniel Goleman dan Robert Cooper) sudah berputus asa di sana? Saat AQ (Adversity Quotient-Stoltz) tidak bisa lagi melihat peluang? Ketika proaktifnya Stephen Covey pupus? Kala berpikir besarnya Schwartz menciut? Saat pikiran bawah sadarnya Napoleon Hill hancur? Dan ketika Siti Hajar seorang diri di tengah padang pasir, apa yang diyakininya? Apa cahaya harapan itu? Itulah cahaya Allah.
Karena itu, berhentilah merasa lelah dan hiduplah dengan penuh semangat. Hancurkan kemalasan dan perasaan gagal dalam hidup. Anda dapat menempelkan diri Anda pada aliran energi bertenaga Tuhan yang terus-menerus melalui iman yang Anda miliki, pemikiran yang benar, dan kehidupan yang masuk akal.Dengan cara ini Anda dapat memiliki persediaan kekuatan energetik yang tidak pernah habis dan dapat mencapai sukses yang Anda inginkan.
Akhirnya, seberapa besar sukses yang akan anda raih adalah tergantung pada seberapa besar usaha Anda untuk mencapai kesuksesan. Nothing is impossible, everything is possible if you believe in Allah….(tidak ada sesuatu yang mustahil, segala sesuatu itu sangat mungkin apabila Anda percaya dengan Allah).
Kecerdasan adversitas adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup. Dengan AQ, seseorang bagai diukur kemampuannya dalam mengatasi setiap persoalan hidup untuk tidak berputus asa. Ini adalah penemuan karya Paul G. Stoltz, Ph.D, yang sudah mendapat legitimasi pula dari temuan psikolog Amerika, David Mc. Clelland, mengenai kebutuhan berprestasi, yakni The Need for Achievement atau populer disebut dengan N-Ach. Bahkan Stoltz lalu memproklamasikan bahwa IQ dan EQ tidak lagi memadai untuk meraih sukses. Karena itu, pasti ada faktor lain berupa motivasi, dorongan dari dalam serta sikap pantang menyerah. Faktor ini kemudian disebut Adversity Quotient.
Dalam bukunya itu, Stoltz membagi tiga tipe manusia. Pertama Quitters (mereka yang berhenti). Orang jenis ini berhenti di tengah proses pendakian, gampang putus asa, mudah menyerah. Kedua, Campers (pekemah). Tidak mencapai puncak, sudah puas dengan yang telah dicapai. Ucapan mereka,”Segini sajalah, sudah cukup. Ngapain capek-capek.” Orang-orang ini lebih baik disbanding quitters, sekurang-kurangnya bisa melihat dan merasakan tantangan. Banyak orang masuk tipe ini, pendakian yang tidak selesai itu sudah mereka anggap sebagai kesuksesan akhir. Namun sebenarnya tidak demikian, sebab masih banyak potensi mereka yang yang belum teraktualisasi sehingga menjadi sia-sia. Ketiga, Climbers (pendaki). Mereka yang selalu optimistik, melihat peluang-peluang, melihat celah, melihat senoktah harapan dibalik keputusasaan, selalu bergairah untuk maju. Noktah kecil yang oleh orang lain dianggap sepele, bagi para climbers mampu dijadikannya sebagai cahaya pencerah kesuksesan. Ketika ilmu psikologi dipergunakannya sebagai titik pijakan, maka Stoltz menempatkan climbers pada piramida puncak hirarki kebutuhan yang disebut dalam teori Maslow sebagai aktualisasi diri.
Menurut Ari Ginanjar Agustian, perjuangan berat yang dilakukan oleh Siti Hajar dengan berlari-lari bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwah merupakan figur dari tipe climbers sejati, yang berarti istri kedua Nabi Ibrahim ini memiliki tingkat AQ yang sangat tinggi jika diukur saat itu. Lebih lanjut Agustian menjelaskan:
Mengapa Allah memilih dia, Siti Hajar? Yang diikuti umat manusia ketika bersa’i. Ini menjelaskan bahwa ketika kememuan logika sudah habis (putus asa), atau bisa dikatakan sudah kehabisan akal di tengah padang pasir. Kondisi ini dilambangkan dengan seorang wanita bekas budak, berkulit hitam, di tengah padang pasir yang tandus dan seorang diri. Bagaimana mungkin seorang climbers gaya Stoltz (AQ) masih bisa melihat “noktah” sebagai cahaya pencerah kesuksesan sat itu…? Kala otak atau IQ tidak melihat harapan di tengah padang pasir. Ketika emosi (EQ-Daniel Goleman dan Robert Cooper) sudah berputus asa di sana. Saat AQ (Adversity Quotient-Stoltz) tidak bisa lagi melihat peluang. Ketika proaktifnya Stephen Covey pupus. Kala berpikir besarnya Schwartz menciut. Saat pikiran bawah sadarnya Napoleon Hill hancur. Dan ketika Siti Hajar seorang diri di tengah padang pasir. Apa yang diyakininya? Apa cahaya harapan itu? Itulah cahaya Allah.
Pelajaran yang dipetik dari sa’i adalah bahwa manusia tidak boleh berputus asa dalam hidup. Ia harus optimis dalam menapaki jalan hidupnya, karena jika pesimis atau berputus asa berarti ia kafir.
Dengan semangat Al-Matin (Yang Mahakokoh) kita harus berani membunuh sifat-sifat pengecut yang bersarang dalam pikiran (mind) dan jiwa, karena ini hanya akan menghambat keberhasilan. Untuk apa kita takut, sebab langit dan bumi di mana kita bagian darinya, adalah kepunyaan Allah dan Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (Ar-Rahman). Yang berarti bahwa Tuhan tidak akan pernah membiarkan kita. Tebaran kasih-sayang-Nya senantiasa menyelimuti kita. Menyertai setiap perjalanan kita, sehingga tidak ada alas an untuk takut menjalani hidup.
Karena itu, berhentilah merasa lelah dan hiduplah dengan penuh semangat. Hancurkan kemalasan dan perasaan gagal dalam hidup. Anda dapat menempelkan diri Anda pada aliran energi bertenaga Tuhan yang terus-menerus melalui iman yang Anda miliki, pemikiran yang benar, dan kehidupan yang masuk akal.Dengan cara ini Anda dapat memiliki persediaan kekuatan energetik yang tidak pernah habis dan tidak pernah menderita “Penyakit Kelabu”.
Dalam contoh di atas kita saat ini adalah sosok Siti Hajar, seorang ibu dengan seorang anaknya, Ismail, berjuang mati-matian untuk mendapatkan air demi anak tercintanya. Ia bolak-balik tujuh kali tanpa mengenal lelah dan menyerah, karena ia yakin di depannya ada harapan, ada masa depan. Dan ia yakin sepenuhnya Tuhan memperhatikan perjuangannya,

No comments:

Post a Comment