Saturday, 8 August 2015

Ketika Anak Desa Bertanya Tentang Bendera

Bulan Agustus telah datang, dimana mana tampak meriah. Umbul umbul yang tampak terpasang di pinggir jalan di kampungku, jalan desa dicat putih di sepanjang tepian badan jalan. Sebuah desa di bagian selatan Jawa Tengah. Bulan Desa yang paling ujung  barat dari kabupaten kami dan dekat perbatasan dengan kabupaten tetangga. Agustus mengingatkanku arti patriotisme, rasa cinta tanah air, cerita perjuangan leluhur dan pendiri bangsa yang berjuang segenap jiwa raga dan harta benda pun dikorbankan demi kemerdekaan negara tercinta kita. Kemerdekaan yang tidak gampang diperoleh, banyak sekali pejuang pejuang kita telah gugur. Perjuangan yang telah dipersembahkan oleh pendahulu kita seharusnya kita sebagai generasi penerus bangsa selayaknya menghargai dan meneruskan perjuangan cita cita pendahulu kita.
Seperti biasa setiap sore saya pulang ke rumah dari bekerja, dua anak yang lucu menyambutku dengan hati yang senang dan tersenyum. Anak pertama sebut saja Lubab berumur lima tahun dan anak yang kedua sebut saja Lubna yang berumur dua tahun. Mereka berdua cium tangan ayahnya ketika ayahnya masuk ke dalam rumahnya mertua saya. Kami sekeluarga masih menumpang di rumah mertua saya. Setelah mencium tangan, Lubna, anak terkecil kami minta gendong dan saya pun langsung menggendongnya sambil mencium pipinya sambil masuk ke kamar. Kakaknya Lubna mengikuti di belakang kami berdua sambil berkata : “ Yah, kita pergi ke swalayan yuk”.
Saya pun tersenyum, dan menjawab : “ Boleh, tapi kita sholat dulu ya”.
Lubab dengan muka tersenyum berkata : “ Iya yah, kita sholat habis itu kita ke toko swalayan”.
Setelah itu, kedua anak yang lucu lucu asyik dengan mainannya sendiri sendiri. Istri pun menyambutku dan bergegas ke dapur membuatkanku segelas minuman. Saya pun bergegas  menuju ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Selang berapa menit setelah membersihkan badanku, saya memakai sarung dan baju batik untuk menunggu adzan maghrib. Tidak lama kemudian adzan maghrib pun berkumandang dari masjid yang tidak jauh dari rumah yang kami tinggali, dan setelah adzan telah selesai saya berkata pada anak-anak yang lucu tersebut, “ Ayo kita sholat dulu berjamaah di masjid”
Lubab pun menjawab “ Ayo yah, kita sholat ke masjid dan habis itu kita pergi ke toko swalayan”.
Saya pun bergegas menuju masjid diikuti kedua anak saya, dan dalam perjalanan ke masjid saya mengingatkan agar mereka berdua untuk sholat dan tidak bermain di dalam masjid sehingga mengganggu orang-orang yang sedang sholat.
Setelah sholat selesai kami segera pulang ke rumah, dalam perjalanan pulang ke rumah Lubab mengingatkanku untuk pergi ke toko swalayan.
Saya berkata, “ Kita ngaji sebentar dulu ya, setelah itu baru pergi”.
Setelah selesai mengaji kami pun bersiap siap pergi toko swalayan. Saya mengganti sarung dengan celana panjang dan langsung menuju ke sepeda motor kesayangan saya. Anak-anak mengikuti saya menuju sepeda motor. Saya naik ke sepeda motor dengan diikuti Lubna duduk di depan saya dan Lubna duduk di belakang saya. Semua sudah siap untuk pergi ke toko swalayan. Toko swalayan yang berada tidak jauh dari rumah kami yang masih dalam satu desa. Toko yang terlalu besar seperti toko swalayan di kota-kota besar, yang selalu menjadi langganan anak-anak kami ketika meminta mainan, susu, ataupun keperluan lainnya dimana toko-toko yang berada di sekitar rumah kami sudah tutup. Di desa kami tidak lah banyak toko, karena desa kami dekat dengan pasar tradisional. Pasar yang tidak terlalu besar, namun di depan pasar terdapat berderet-deret ruko yang digunakan sebagai toko kelontong, toko baju dan keperluan sekolah, toko konter pulsa, apotik, dan toko jual beli emas dan perak. Toko swalayan letaknya tidak jauh dari pasar tersebut. Toko-toko yang ada di pasar biasanya sudah tutup sekitar jam 4 sore, sedangkan toko swalayan biasanya tutup jam setengah sepuluh malam. Keluarga kami terutama saya dan anak-anak, biasanya mempunyai waktu untuk pergi membeli keperluan kami hanya sore menjelang maghrib dan malam hari.
Saya segera menghidupkan sepeda motor saya. Saya melihat jarum indikator bahan bakar sepeda motor saya dan berkata pada Lubab,” Lubab, kita mengisi bensin dulu ya di pom bensin”
Lubab pun menjawab : “ Iya yah, kita ke pom bensin dulu untuk mengisi bensin. Kan kalo bensinnya habis, motornya gak bisa jalan ya yah”
Saya pun tersenyum dan menjawab : “ Iya lubab, bener itu.” Saya pun melajukan sepeda motor saya menuju ke pom bensin yang terdekat yang berada di desa tetangga desa kami. Dalam perjalanan menuju pom bensin, tangan kiri saya memegangi dengan erat Lubna yang seperti biasanya asyik tertawa sendiri serasa sangat senang diajak jalan-jalan oleh ayahnya, dan bermain sendiri dengan menggerak-gerakkan tangannya serta berkata dalam bahasanya anak kecil, “Yah, adi ke sawalan” Bahasa Lubna yang belum sempurna pengucapannya dan kadang ada bahasa tidak dimengerti oleh saya. Saya pun menjawab,” Jadi Lubna, tapi ayah ngisi bensin dulu”. Lubna pun seolah-olah mengerti apa yang saya katakan. Kami membutuhkan sekitar 15 menit untuk sampai ke pom bensin, dan kebetulan pom bensin sedang sepi sehingga kami tidak perlu mengantri mengisi bahan bakar. Sepeda motor saya pun saya kendarakan menuju ke swalayan setelah sepeda motor saya terisi bensin. Dalam perjalanan, Lubna tertarik pada umbul-umbul yang terpasang pada pinggir jalan, dan bertanya pada saya,” Yah, kok sekarang banyak bendera? Kok rumahnya mbah Kakung nggak memasang bendera yah?
Saya pun menjawab : “ Bendera yang di pinggir jalan itu namanya umbul-umbul karena kita akan 17-an Agustus dan mbah kakung biasanya memasang bendera nanti kalo mendekati 17-an Agustus.” Lubab pun terdiam sebentar mendengar jawaban ayahnya, dan bertanya lagi,” Ada apa dengan 17 Agustus yah, kok mbah kakung memasang bendera?”
Saya menjawab : “ Nanti ayah cerita di rumah ya Lubab”, sambil memarkirkan sepeda motor saya di parkiran swalayan. Setelah memarkirkan sepeda motor saya, kedua anak tersebut bergegas masuk masuk ke toko dan langsung menuju ke tempat rak yang menyediakan susu anak-anak. Mereka berdua segera memilih susu yang mereka sukai sambil saya ikuti mereka berdua. Setelah itu mereka saya arahkan ke kasir untuk membayarnya dan segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, mereka pun langsung disambut istri saya dan menyuruhnya untuk makan malam bersama.
Kamipun makan malam bersama dan setelah selesai makan malam anak-anak kami meminum susu cair yang mereka beli. Setelah selesai, seperti biasanya Lubna meminta untuk dibacakan buku oleh ibunya, dan Lubab bermain sendiri. Dalam bermain sendiri, Lubab bertanya kepada saya,” Yah, kok sekarang banyak bendera dimana mana?” Dalam hati saya mengatakan, oiya tadi saya janji menjelaskan apa itu 17 Agustus, dan segera saya berkata sama anak saya,” Lubab, bendera-bendera itu dipasang dimana-mana karena sebentar lagi tanggal 17 Agustus. 17 Agustus itu merupakan hari kemerdekaan kita yang harus kita peringati setiap tahunnya untuk menghargai perjuangan pendahulu kita melawan penjajah.” Saya melihat muka Lubab terlihat serius, tapi dalam hati kecil saya, saya yakin Lubab belu sepenuhnya mengerti apa yang saya katakan. Saya pun melanjutkan dengan berkata,” Begini aja, ayah mau bercerita”. Lubab pun menjawab,” Cerita apa yah?”
Saya berkata : “ Ayo kita masuk kamar dan ayah cerita sambil Lubab tiduran ya?.” Saya berkata begitu karena saya tahu kedua bola mata anak saya sudah agak terlihat sayu menandakan anak saya sudah agak mengantuk, dan anak saya pun menuruti apa yang saya katakan. Setelah berada di kamar dan anak saya sudah dalam posisi tiduran saya pun mulai bercerita. “Dahulu kala negara kita dijajah oleh bangsa lain. Orang orang tua dulu berjuang agar negara kita merdeka. Kemerdekaan itu penting karena kita bisa menentukan nasib negara kita. Ada sebuah cerita dari salah satu orang tua kita dulu ketika masa penjajahan.”, kata saya sambil memperhatikan anak saya. Anak saya saya terlihat mendengarkan dengan serius walaupun kedua matanya sudah mulai terlihat berat. Saya diam sejenak menunggu reaksi anak saya, barangkali ada pertanyaan, dan setelah saya tunggu sejenak anak saya tidak bertanya, saya pun kembali bercerita.
Saya berkata kepada anak saya : “Ada salah satu kakek Lubab yang merupakan salah satu orang yang berjuang melawan penjajah. Beliau adalah tentara jaman dulu. Banyak sekali tugas yang telah beliau laksanakan. Beliau bercerita dengan semangat walaupun usia beliau waktu itu sudah tua. Beliau menceritakan ketika ditugaskan di untuk menyerang belanda di Kroya, sebut saja mbah Kakung Wito. Kroya itu di selatan desa kita, yang masuk wilayah Kabupaten Cilacap.Mbah kakung Wito waktu itu ketika dapat tugas ke Kroya, harus meninggalkan istri yang baru mengandung 5 bln. Beliau berkata "Bu, saya diperintahkan oleh komandan saya untuk segera ke Kroya bersama teman teman saya". Bu wito sebenarnya sedih mendengar berita itu dan sedih ditinggalkan, namun bapak harus berangkat membela negara tercinta ini, kemudian dengan wajah yang ceria dan hati yang ikhlas sambil berkata, “ Iya pak, ibu ditinggal gak papa, demi negara kita tercinta”
Saya menghela nafas, sambil bertanya : “ Sudah ngantuk ya?” Anak saya langsung menjawab, “ Terus mbah gimana yah?”.
Saya berkata : “ Ayah minum sebentar ya? Setelah minum ayah lanjutkan ceritanya.” Saya melihat anak saya menganggukan kepalanya tanda setuju, dan langsung saya bergegas keluar kamar tidur menuju meja yang berada di ruang makan dan segera minum minuman yang ada di meja yang telah disediakan istri saya tadi waktu malam malam bersama. Saya minum beberapa tegukan dan kembali lagi ke kamar tidur, dan anak saya masih setia menunggu ayahnya untuk bercerita lagi. Saya tersenyum dan bertanya ke anak saya, “ Ayah lanjutin sekarang apa besok?” sambil melihat kedua anak saya yang sudah 5 watt.
Lubab langsung menjawab : “ Lanjutin yah, ceritanya.”
Saya pun segera melanjutkan ceritanya, dan mengatakan : “ Mbah Wito setelah itu berpamitan kepada mbah putri dan segera menuju ke rumah komandannya yang dijadikan markas kecil tentara kita. Sesampainya di markas kecil, kata beliau, komandannya segera mengumpulkan pasukannya untuk mengatur rencana menyerang  pasukan Belanda yang sedang ada di Kroya. Markas kecil tentara kita dulu ada di daerah Banyumas, yang letaknya sekitar 30 km ke utara dari desa Kroya. Setelah komandannya mbah kakung menerangkan rencana penyerangan, segera semua pasukan yang ada bergerak menuju ke Kroya dengan jalan kaki. Sebelum sampai di kroya, pasukannya mbah kakung bertemu dengan pasukan yang lain dan langsung bergabung menjadi satu dan melanjutkan perjalanan ke daerah Kroya. Sesampainya di Kroya dan bertemu dengan tentara Belanda, pasukan kita berperang habis-habisan sampai akhirnya pasukan Belanda kocar kacir. Beliau mengatakan, setelah itu, pasukan tentara kita kembali lagi ke markas masing-masing dan mbah kakung segera pulang ke rumah beliau untuk menunggu kelahiran putra beliau.”
Tiba-tiba anak saya bertanya :” Berarti mbah Wito hebat ya yah?Kuat jalan kaki jauh sekali.”
Saya menjawab :” Memang semuanya harus jalan kaki nak, mbah Wito dan teman-temannya memang hebat-hebat. Makanya setiap bulan Agustus kita wajib memperingati hari kemerdekaan negara kita. Lubab harus bangga punya bendera Merah Putih yang susah payah dikibarkan oleh orang-orang tua dulu.” Tidak terasa kedua mata anak saya telah tertutup dan terlihat tidur dengan pulasnya. Dalam pikiran saya, mungkin cerita saya banyak yang belum dimengerti oleh anak saya, tapi minimal harapan saya tertanam rasa menghargai bendera Merah Putih kita dan tahu perjuangan pendahulu kita pada jaman perjuangan merebut kemerdekaan serta menumbuhkan rasa patriotisme pada diri anak saya. Setelah melihat bahwa anak saya benar benar telah tertidur, saya pun menyusulnya ke alam mimpi saya.

No comments:

Post a Comment