Bulan
Agustus telah datang, dimana mana tampak meriah. Umbul umbul yang tampak
terpasang di pinggir jalan di kampungku, jalan desa dicat putih di sepanjang
tepian badan jalan. Sebuah desa di bagian selatan Jawa Tengah. Bulan Desa yang
paling ujung barat dari kabupaten kami
dan dekat perbatasan dengan kabupaten tetangga. Agustus mengingatkanku arti
patriotisme, rasa cinta tanah air, cerita perjuangan leluhur dan pendiri bangsa
yang berjuang segenap jiwa raga dan harta benda pun dikorbankan demi
kemerdekaan negara tercinta kita. Kemerdekaan yang tidak gampang diperoleh, banyak
sekali pejuang pejuang kita telah gugur. Perjuangan yang telah dipersembahkan
oleh pendahulu kita seharusnya kita sebagai generasi penerus bangsa selayaknya
menghargai dan meneruskan perjuangan cita cita pendahulu kita.
Seperti
biasa setiap sore saya pulang ke rumah dari bekerja, dua anak yang lucu
menyambutku dengan hati yang senang dan tersenyum. Anak pertama sebut saja
Lubab berumur lima tahun dan anak yang kedua sebut saja Lubna yang berumur dua
tahun. Mereka berdua cium tangan ayahnya ketika ayahnya masuk ke dalam rumahnya
mertua saya. Kami sekeluarga masih menumpang di rumah mertua saya. Setelah
mencium tangan, Lubna, anak terkecil kami minta gendong dan saya pun langsung
menggendongnya sambil mencium pipinya sambil masuk ke kamar. Kakaknya Lubna
mengikuti di belakang kami berdua sambil berkata : “ Yah, kita pergi ke
swalayan yuk”.
Saya pun tersenyum, dan
menjawab : “ Boleh, tapi kita sholat dulu ya”.
Lubab dengan muka
tersenyum berkata : “ Iya yah, kita sholat habis itu kita ke toko swalayan”.
Setelah itu, kedua anak
yang lucu lucu asyik dengan mainannya sendiri sendiri. Istri pun menyambutku
dan bergegas ke dapur membuatkanku segelas minuman. Saya pun bergegas menuju ke kamar mandi untuk membersihkan
badan. Selang berapa menit setelah membersihkan badanku, saya memakai sarung
dan baju batik untuk menunggu adzan maghrib. Tidak lama kemudian adzan maghrib
pun berkumandang dari masjid yang tidak jauh dari rumah yang kami tinggali, dan
setelah adzan telah selesai saya berkata pada anak-anak yang lucu tersebut, “
Ayo kita sholat dulu berjamaah di masjid”
Lubab pun menjawab “
Ayo yah, kita sholat ke masjid dan habis itu kita pergi ke toko swalayan”.
Saya pun bergegas
menuju masjid diikuti kedua anak saya, dan dalam perjalanan ke masjid saya
mengingatkan agar mereka berdua untuk sholat dan tidak bermain di dalam masjid
sehingga mengganggu orang-orang yang sedang sholat.
Setelah sholat selesai
kami segera pulang ke rumah, dalam perjalanan pulang ke rumah Lubab
mengingatkanku untuk pergi ke toko swalayan.
Saya berkata, “ Kita
ngaji sebentar dulu ya, setelah itu baru pergi”.
Setelah selesai mengaji
kami pun bersiap siap pergi toko swalayan. Saya mengganti sarung dengan celana
panjang dan langsung menuju ke sepeda motor kesayangan saya. Anak-anak
mengikuti saya menuju sepeda motor. Saya naik ke sepeda motor dengan diikuti
Lubna duduk di depan saya dan Lubna duduk di belakang saya. Semua sudah siap untuk
pergi ke toko swalayan. Toko swalayan yang berada tidak jauh dari rumah kami
yang masih dalam satu desa. Toko yang terlalu besar seperti toko swalayan di
kota-kota besar, yang selalu menjadi langganan anak-anak kami ketika meminta
mainan, susu, ataupun keperluan lainnya dimana toko-toko yang berada di sekitar
rumah kami sudah tutup. Di desa kami tidak lah banyak toko, karena desa kami
dekat dengan pasar tradisional. Pasar yang tidak terlalu besar, namun di depan
pasar terdapat berderet-deret ruko yang digunakan sebagai toko kelontong, toko
baju dan keperluan sekolah, toko konter pulsa, apotik, dan toko jual beli emas
dan perak. Toko swalayan letaknya tidak jauh dari pasar tersebut. Toko-toko
yang ada di pasar biasanya sudah tutup sekitar jam 4 sore, sedangkan toko
swalayan biasanya tutup jam setengah sepuluh malam. Keluarga kami terutama saya
dan anak-anak, biasanya mempunyai waktu untuk pergi membeli keperluan kami
hanya sore menjelang maghrib dan malam hari.
Saya
segera menghidupkan sepeda motor saya. Saya melihat jarum indikator bahan bakar
sepeda motor saya dan berkata pada Lubab,” Lubab, kita mengisi bensin dulu ya
di pom bensin”
Lubab pun menjawab : “
Iya yah, kita ke pom bensin dulu untuk mengisi bensin. Kan kalo bensinnya
habis, motornya gak bisa jalan ya yah”
Saya pun tersenyum dan
menjawab : “ Iya lubab, bener itu.” Saya pun melajukan sepeda motor saya menuju
ke pom bensin yang terdekat yang berada di desa tetangga desa kami. Dalam
perjalanan menuju pom bensin, tangan kiri saya memegangi dengan erat Lubna yang
seperti biasanya asyik tertawa sendiri serasa sangat senang diajak jalan-jalan
oleh ayahnya, dan bermain sendiri dengan menggerak-gerakkan tangannya serta
berkata dalam bahasanya anak kecil, “Yah, adi ke sawalan” Bahasa Lubna yang
belum sempurna pengucapannya dan kadang ada bahasa tidak dimengerti oleh saya.
Saya pun menjawab,” Jadi Lubna, tapi ayah ngisi bensin dulu”. Lubna pun
seolah-olah mengerti apa yang saya katakan. Kami membutuhkan sekitar 15 menit
untuk sampai ke pom bensin, dan kebetulan pom bensin sedang sepi sehingga kami
tidak perlu mengantri mengisi bahan bakar. Sepeda motor saya pun saya
kendarakan menuju ke swalayan setelah sepeda motor saya terisi bensin. Dalam
perjalanan, Lubna tertarik pada umbul-umbul yang terpasang pada pinggir jalan,
dan bertanya pada saya,” Yah, kok sekarang banyak bendera? Kok rumahnya mbah
Kakung nggak memasang bendera yah?
Saya pun menjawab : “
Bendera yang di pinggir jalan itu namanya umbul-umbul karena kita akan 17-an
Agustus dan mbah kakung biasanya memasang bendera nanti kalo mendekati 17-an
Agustus.” Lubab pun terdiam sebentar mendengar jawaban ayahnya, dan bertanya
lagi,” Ada apa dengan 17 Agustus yah, kok mbah kakung memasang bendera?”
Saya menjawab : “ Nanti
ayah cerita di rumah ya Lubab”, sambil memarkirkan sepeda motor saya di
parkiran swalayan. Setelah memarkirkan sepeda motor saya, kedua anak tersebut
bergegas masuk masuk ke toko dan langsung menuju ke tempat rak yang menyediakan
susu anak-anak. Mereka berdua segera memilih susu yang mereka sukai sambil saya
ikuti mereka berdua. Setelah itu mereka saya arahkan ke kasir untuk membayarnya
dan segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, mereka pun langsung disambut
istri saya dan menyuruhnya untuk makan malam bersama.
Kamipun
makan malam bersama dan setelah selesai makan malam anak-anak kami meminum susu
cair yang mereka beli. Setelah selesai, seperti biasanya Lubna meminta untuk
dibacakan buku oleh ibunya, dan Lubab bermain sendiri. Dalam bermain sendiri,
Lubab bertanya kepada saya,” Yah, kok sekarang banyak bendera dimana mana?”
Dalam hati saya mengatakan, oiya tadi saya janji menjelaskan apa itu 17
Agustus, dan segera saya berkata sama anak saya,” Lubab, bendera-bendera itu
dipasang dimana-mana karena sebentar lagi tanggal 17 Agustus. 17 Agustus itu
merupakan hari kemerdekaan kita yang harus kita peringati setiap tahunnya untuk
menghargai perjuangan pendahulu kita melawan penjajah.” Saya melihat muka Lubab
terlihat serius, tapi dalam hati kecil saya, saya yakin Lubab belu sepenuhnya
mengerti apa yang saya katakan. Saya pun melanjutkan dengan berkata,” Begini
aja, ayah mau bercerita”. Lubab pun menjawab,” Cerita apa yah?”
Saya berkata : “ Ayo
kita masuk kamar dan ayah cerita sambil Lubab tiduran ya?.” Saya berkata begitu
karena saya tahu kedua bola mata anak saya sudah agak terlihat sayu menandakan
anak saya sudah agak mengantuk, dan anak saya pun menuruti apa yang saya katakan.
Setelah berada di kamar dan anak saya sudah dalam posisi tiduran saya pun mulai
bercerita. “Dahulu kala negara kita dijajah oleh bangsa lain. Orang orang tua
dulu berjuang agar negara kita merdeka. Kemerdekaan itu penting karena kita
bisa menentukan nasib negara kita. Ada sebuah cerita dari salah satu orang tua
kita dulu ketika masa penjajahan.”, kata saya sambil memperhatikan anak saya.
Anak saya saya terlihat mendengarkan dengan serius walaupun kedua matanya sudah
mulai terlihat berat. Saya diam sejenak menunggu reaksi anak saya, barangkali
ada pertanyaan, dan setelah saya tunggu sejenak anak saya tidak bertanya, saya
pun kembali bercerita.
Saya
berkata kepada anak saya : “Ada salah satu kakek Lubab yang merupakan salah
satu orang yang berjuang melawan penjajah. Beliau adalah tentara jaman dulu.
Banyak sekali tugas yang telah beliau laksanakan. Beliau bercerita dengan
semangat walaupun usia beliau waktu itu sudah tua. Beliau menceritakan ketika
ditugaskan di untuk menyerang belanda di Kroya, sebut saja mbah Kakung Wito. Kroya
itu di selatan desa kita, yang masuk wilayah Kabupaten Cilacap.Mbah kakung Wito
waktu itu ketika dapat tugas ke Kroya, harus meninggalkan istri yang baru
mengandung 5 bln. Beliau berkata "Bu, saya diperintahkan oleh
komandan saya untuk segera ke Kroya bersama teman teman saya". Bu wito
sebenarnya sedih mendengar berita itu dan sedih ditinggalkan, namun bapak harus
berangkat membela negara tercinta ini, kemudian dengan wajah yang ceria dan hati
yang ikhlas sambil berkata, “ Iya pak, ibu ditinggal gak papa, demi negara kita
tercinta”
Saya
menghela nafas, sambil bertanya : “ Sudah ngantuk ya?” Anak saya langsung
menjawab, “ Terus mbah gimana yah?”.
Saya berkata : “ Ayah
minum sebentar ya? Setelah minum ayah lanjutkan ceritanya.” Saya melihat anak
saya menganggukan kepalanya tanda setuju, dan langsung saya bergegas keluar
kamar tidur menuju meja yang berada di ruang makan dan segera minum minuman
yang ada di meja yang telah disediakan istri saya tadi waktu malam malam
bersama. Saya minum beberapa tegukan dan kembali lagi ke kamar tidur, dan anak
saya masih setia menunggu ayahnya untuk bercerita lagi. Saya tersenyum dan
bertanya ke anak saya, “ Ayah lanjutin sekarang apa besok?” sambil melihat
kedua anak saya yang sudah 5 watt.
Lubab langsung menjawab
: “ Lanjutin yah, ceritanya.”
Saya pun segera
melanjutkan ceritanya, dan mengatakan : “ Mbah Wito setelah itu berpamitan
kepada mbah putri dan segera menuju ke rumah komandannya yang dijadikan markas
kecil tentara kita. Sesampainya di markas kecil, kata beliau, komandannya
segera mengumpulkan pasukannya untuk mengatur rencana menyerang pasukan Belanda yang sedang ada di Kroya.
Markas kecil tentara kita dulu ada di daerah Banyumas, yang letaknya sekitar 30
km ke utara dari desa Kroya. Setelah komandannya mbah kakung menerangkan
rencana penyerangan, segera semua pasukan yang ada bergerak menuju ke Kroya
dengan jalan kaki. Sebelum sampai di kroya, pasukannya mbah kakung bertemu
dengan pasukan yang lain dan langsung bergabung menjadi satu dan melanjutkan
perjalanan ke daerah Kroya. Sesampainya di Kroya dan bertemu dengan tentara
Belanda, pasukan kita berperang habis-habisan sampai akhirnya pasukan Belanda
kocar kacir. Beliau mengatakan, setelah itu, pasukan tentara kita kembali lagi
ke markas masing-masing dan mbah kakung segera pulang ke rumah beliau untuk
menunggu kelahiran putra beliau.”
Tiba-tiba anak saya bertanya
:” Berarti mbah Wito hebat ya yah?Kuat jalan kaki jauh sekali.”
Saya menjawab :” Memang
semuanya harus jalan kaki nak, mbah Wito dan teman-temannya memang hebat-hebat.
Makanya setiap bulan Agustus kita wajib memperingati hari kemerdekaan negara kita.
Lubab harus bangga punya bendera Merah Putih yang susah payah dikibarkan oleh
orang-orang tua dulu.” Tidak terasa kedua mata anak saya telah tertutup dan
terlihat tidur dengan pulasnya. Dalam pikiran saya, mungkin cerita saya banyak
yang belum dimengerti oleh anak saya, tapi minimal harapan saya tertanam rasa
menghargai bendera Merah Putih kita dan tahu perjuangan pendahulu kita pada
jaman perjuangan merebut kemerdekaan serta menumbuhkan rasa patriotisme pada
diri anak saya. Setelah melihat bahwa anak saya benar benar telah tertidur,
saya pun menyusulnya ke alam mimpi saya.
No comments:
Post a Comment